Rabu, 27 Maret 2019

HANYA SEBUAH PENYESALAN!


[Tentangku.1_20190327] Ini bukan tentang dia, atau siapapun, ini hanya tentangku, dan segala rutinitas yang aku lalui di semester baru ini, mungkin juga tentang pemikiranku tentang kuliah di jurusan yang banyak di bilang 'mematikan' itu.

Ketika dulu, aku belum menemukan titik temu di kota perantauan yang aku singgahi kini.

Mungkin terdengar klise, dan mungkin untuk hampir seluruh manusia yang pernah atau sedang menduduki bangku perkuliahan pernah merasa "salah jurusan" atau itu yang sejenisnya.

Ya, aku dulu, merasakan itu, sangat merasakan itu.

Aku yang merasa kenapa aku harus mengambil jurusan ini? Kenapa aku harus mengambil Perguruan Tinggi di sini? kenapa aku harus meng-klik tombol itu? dan sebagainya yang sebenarnya percuma untuk di sesali.

Tapi ... entah kenapa, akhir akhir ini, tepatnya saat semua lembaran kehidupanku yang lalu kututup dan aku benar-benar membuka lembaran baru, untuk semester baru, dan untuk tahun yang baru pula.

Ada sebuah bisikan dan entahlah apa itu, panggilan dari-Nya kah? atau apapun itu. Aku benci jika di bilang untuk beberapa semester yang telah kulalui dulu SIA-SIA. Tapi seakan aku teringat dosa lalu, yang aku tak pernah ada secuil niatan kuliah dengan giat.

Jujur, mungkin jika orang tuaku membaca ini, mungkin beliau akan sangat bersedih, dan jika mungkin kalian mengenal satu saja teman kelasku, atau bahkan kalian teman kelasku, mungkin kalian akan sangat setuju dengan ucapanku sesaat lagi.

Beberapa semester lalu, yang kulakukan hanyalah, datang, duduk, dan diam. Ketiga kegiatan yang kulakukan itu murni hanya itu formalitas belaka. Percaya atau tidak, aku dulu se-SIA-SIA itu.

Datang kuliah, duduk belakang, buka hp, pasang earphone, putar musik dan melamun, hanya itu yang kulakukan beberapa semester lalu.

Dan dengan kebesaran-Nya. Aku benar-benar sadar sekarang, bahwa semua keSIA-SIAanku dulu, akan aku pertanggungjawabkan kelak, bukan?

Apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosa lalu? selain dengan mencoba lebih baik walaupun hanya secuil, bahkan tidak tau sekecil apa aku mencobanya. Apa masih bisa ternilai?

Dulu, aku mencari puluhan atau bahkan ribuan pelarian, setidaknya ada satu kegiatan yang bisa aku banggakan ... kelak.

Ketika aku ditanya. Alasan kenapa aku ikut organisasi ini dan itu, pergerakan ini dan itu, komunitas ini dan itu, dan sebagainya.

Aku akan menjawab jujur kali ini. Aku hanya ingin mencari pelarian.

Hanya itu.

Sebut saja aku munafik, memang benar, aku adalah manusia munafik, sangat munafik. Tapi aku akan tetap melakukan itu jika aku dipertemukan dengan pilihan yang membuatku juga bingung.

Sebut saja aku bodoh. jelas saja, aku jelas bodoh. Kalau aku pintar, aku sudah menjadi orang besar sekarang.

Anggap saja aku penipu. Ya apapun itu, terserah apapun yang kamu ucapkan.

Tapi, maaf saja. Semua yang kulakukan dulu, aku sudah meninggalkannya perlahan.

Karena sekarang, aku telah menemukannya.

Menemukan apa?

Yang jelas tujuanku kenapa aku tetap bertahan sampai sekarang.

Kalian mau tau tidak apa itu?

Hahaha, mungkin kalian akan bilang, untuk apa aku tau?

Tapi atau bahkan ada yang ingin tau?

tenang saja, mau tidak maupun, aku akan tetap memberitahukannya, hehehe.

Tujuanku adalah membanggakan orang tuaku dengan caraku sendiri.

Sesimpel itu bukan? Mungkin itu juga cuma alasan klise, karena mungkin hampir seluruh manusia di dunia, juga ingin menjadi kebanggaan orang tuanya, bukan?

Dan aku adalah salah satunya.

Aku masih ingat saat lalu, saat aku masih di sekolah dasar. dendam terhadap permintaan orang tuaku.

"Kamu kapan bisa dapat peringkat 10 besar seperti sepupumu itu si *****,"

Kalau saja aku dulu belum diajari sopan santun, mungkin aku sudah balas marah.

Satu kalimat yang selalu aku ingat sampai sekarang dan selalu membuat aku sakit hati, bahkan saat ini, saat aku mengingatnya.

Aku memang tidak sepintar sepupuku, aku bahkan bisa digolongkan manusia pas-pasan. Tapi, manusia mana yang mau dibandingkan, apalagi dengan orang yang paling dekat denganmu?

Tapi, jangan benci orang tuaku. Aku tau, maksudnya baik, sangat baik. Mungkin hanya caranya yang salah.

Ah ini menyeleweng dari judulnya.

Tapi, sudah terlanjur jauh.

Beberapa kali aku dapat pesan dari beberapa adik kelasku, bahkan teman online-ku.
yang pasti kebanyakan bercerita tentang tuntutan orang tua dan juga pilihan untuk kuliah.

Aku hanya bisa berbicara. "Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, karena yang tau jalan hidupmu hanya kamu. Orang tua sebagai fasilitator dan tujuan untuk kamu melakukan semuanya. Ambil tuntutan yang menurut kamu baik, dan tunjukkan dengan aksi untuk tuntutan yang menurut kamu buruk." dan "Pilih sesuai dengan yang kamu kuasai dan kamu inginkan. Menantang diri sendiri dengan hal baru memang bagus, tapi percayalah, ketika kamu bisa mendalami zona nyamanmu, disitulah kamu mendapat tantangan tersendiri. Tapi semuanya kembali ke kamu."

Aku bukan mau menjadi sok bijak dan pandai menasihati. Tapi aku hanya sedikit ... apa ya, intinya aku hanya tidak mau 'dia' yang mempercayaiku untuk mendengarkan keluh kesahnya, mengalami hal yang aku alami saat ini.

Dan kembali ke semester sekarang ini.

Aku sudah sedikit berusaha dan berlatih untuk menjadi profesi yang kini aku jadikan tujuan, dan pasti hal yang sedari dulu orang tuaku inginkan dariku.

Kalau tujuan awalku ingin menjadi penulis profesional seperti panutanku, Bang Darwis 'Tere Liye'. Kini aku sedikit menurunkan tujuan itu, demi harapan orang tuaku, yang mungkin saja bisa aku capai dengan jurusan yang aku jalani sekarang.

Aku sedikit menyesal, aku dulu terlalu menomorsatukan kegiatan di luar kuliahku daripada kuliahku, ahh bukan menyesal. Hanya sedikit merasa bersalah dengan orang tuaku., lagi, lagi orang tuaku yang kujadikan alasan untuk mencapai titik ini. Titik terberaniku menulis ini semua.

Kini, aku telah berjanji kepada keluargaku, orang tuaku, dan kakakku, bahwa aku akan giat kuliah demi keluargaku, demi semua impian tentang orang tuaku di masa tuanya dan tentang keluargaku.

Kesimpulannya, ya ... aku menyesal.

Senin, 18 Maret 2019

Jarak




[LifeScript_20190318] Langit malam terlihat cerah, dengan ribuan bintang terlihat memenuhi langit dengan gemerlapnya dan tak lupa bulan yang semakin terang dengan sinar lembutnya. Seperti memberi tanda bahwa ada kebahagiaan yang sangat besar dari seorang manusia di belahan dunia lain.

Atau mungkin dia? Yang kini jauh di sana sedang bahagia dengan pilihannya? Dan memberikan salamnya kepadaku lewat bintang dan bulan yang tengah tersenyum di langit malam ini?

Bahkan awan gelap-pun tak berani menunjukkan wujudnya bentuk sekecil apapun, karena kebahagiaannya yang sangat berarti. Kalau memang iya, aku turut senang di sini.

Terdengar munafik, bukan? Iya aku mengakuinya, aku tengah berperan sebagai manusia munafik saat ini, tapi aku tidak akan pernah menyesal dengan kemunafikanku sekarang. Bukan karena aku tidak mencintainya, jelas aku sangat mencintainya, bahkan hingga saat ini.

Tapi setiap manusia memiliki kesempatan untuk memilih untuk kehidupannya, bukan? Begitupun dengan dia. Dia telah menentukan kehidupannya saat ini, dengan siapa, dan dengan keadaan yang lebih baik daripada denganku ... kemarin.

Akupun demikian, aku memiliki pilihan untuk kehidupanku sendiri, karena ini hidupku, aku yang menjalani dan bertanggung jawab.

Kalaupun, akan ada penyesalan di belakang, kelak. Aku akan tetap memilih jalan yang kini aku jalani, yaitu fokus dengan satu titik yang kubangun sendiri. Mencoba bodo amat dengan semuanya yang bukan titik yang kupilih.

Aku teringat akan kenangan lalu, dengannya. Bukan aku ingin mengulang kisah lalu, tapi karena kenangan lalu harusnya dijadikan pembelajaran untuk hari ini dan kelak, bukan?

Dia yang lalu selalu mengingatkanku akan satu hal. Lakukan apa yang ingin aku lakukan.

Dia selalu mengingatkan akan hal itu. Dia yang lalu adalah dia yang menjadi motivasiku dalam melakukan hal yang ingin aku lakukan, termasuk sekarang yang aku lakukan, menatap langit malam ditemani dengan angin yang berhembus ringan serta laptop yang ku-pangku lembut.

Kata demi kata aku ketikkan di sana, semua kenanganku lalu seakan perlahan muncul rapi seperti potongan kaset lama yang kini kuputar lagi dalam ingatan.

Setiap detik yang kulewati bersamanya tak pernah terlupa secuil-pun, saat dia membawaku mengelilingi kota dengan motor lamanya, membawaku ke tempat makan yang telah dia cari jauh-jauh hari sebelum pergi bersamaku, makanan yang aku sukai, novel yang ingin aku baca dan potongan lagu yang selalu aku dengarkan setiap hari.

Setiap kenangan seakan kembali berulang dan berulang, membuat setumpuk rindu yang telah kukubur dalam kembali mencuat ke atas.

Aku rindu dia.

Tapi, kini aku dan dia telah berjarak.

Seakan kita terhalang waktu, misalnya aku menggunakan WIB, dan dia menggunakan WIT, maksudnya WIT SOMEONE ELSE.

Kukesampingkan laptopku sejenak, kini kuberalih ke ponsel pintar milikku yang sedari tadi terputar berbait-bait lagu milih Andmesh.

Lagu yang akhir-akhir ini aku sukai.

Seakan telah larut lama oleh lagu, aku beralih membuat obrolan pesan dengannya, sangat jelas, terakhir kali aku bertukar pesan dengannya, 2 bulan lalu.

"Selamat malam. Apakah kamu sedang menatap langit saat ini? Seperti yang dulu kita lakukan setiap malam. Meskipun jarak kita telah jauh, dan alasan kita tidak lagi sama, tapi langit yang kita tatap masih sama bukan? Aku hanya ingin memastikan, sapaan dari langit dengan ribuan bintang cerah itu dari kamu? Kalau iya, selamat. Kamu berhasil mendapatkan kebahagiaanmu, aku turut senang. Aku sekarang sedang sibuk melakukan apa yang ingin aku lakukan seperti apa yang kamu katakan padaku, dulu. Aku sampai sekarang masih menyibukkan diriku dengan apa yang aku ingin lakukan. Bukan hanya karenamu, tenang saja, tapi aku melakukan ini semua karena memang ini pilihanku, seperti kamu yang memilih pergi dan menjauh dariku, sejauh jarak kita sekarang. Aku harap kamu masih mau menerima salam rindu dari angin yang kini sibuk menerpa malammu. Tenang saja, aku hanya ingin menyampaikan apa yang ingin aku sampaikan, tidak pernah memaksa untukmu membalasnya. Mungkin aku akhiri saja keinginanku kali ini. Semoga kamu selalu bahagia dengan apa yang kamu pilih, dan ingat, kita akan bertemu kelak, dengan situasi yang mungkin lebih baik dari sekarang."

"Ah sudah, aku seperti sedang membuat cerpen kepadamu, dan mungkin kamu akan bosan membacanya. Tapi aku ingin memberitahumu satu hal, tentang hukum yang pernah aku ungkapkan kepadamu dulu, kamu ingat? Hukum timbal balik dan hukum kelipatan yang selalu aku ungkapkan dalam agamaku itu? Itu ternyata benar-benar nyata, dan aku sudah dapat buktinya. Mau tau?"

"Aku yang memberimu 10 langkahku untuk mendekat ke arahmu, dan kamu membalasnya dengan 10kali lipat langkah untuk menjauh dariku."

"Nyata, bukan?"

"Baiklah, selamat tinggal."

Kuakhiri kalimatku dengan cepat, dan aku kembali menatap langit dengan semangat baru.

Terimakasih untukmu, yang pernah menjadi alasanku untuk terus melakukan apa yang kulakukan. Tapi tetap, itu dulu. Dan semuanya perlahan berubah, seperti kita, ah bukan lagi kita ya, lebih tepatnya seperti aku dan kamu. Kita yang berubah semakin jauh, dengan situasi dan kondisi yang semakin berubah, dan juga jarak kita.

Jarak, terimakasih, untukmu yang telah membuatku mengerti arti bersabar dan merindu, untuk siapapun itu, termasuk untuk dia.

Sabtu, 16 Maret 2019

Kertas Putih


[LifeScript_20190317] Ketika kata demi kata tersusun dan tertumpuk di otak, yang bisa kulakukan hanya mencatat, mencatat dan mengenang semuanya di atas kertas putih yang secara sengaja ternodai oleh tinta berwarna milikku.

Tidak ada yang istimewa sebenarnya, hanya saja jiwaku untuk menulis selalu tergugah begitu saja. Mau hal yang sangat penting, seperti penjelasan dari dosen, ataupun yang paling tidak penting, seperti setiap hal yang terlintas untuk bisa dijadikan ide cerita namun tetap saja, berhenti di ide, selalu di ide.

Aku masih ingat, ucapan dia kala itu, iya dia si pengisi hariku kala itu. 'Nikmati apa yang selalu kamu nikmati, ketika kamu bahagia dengan menulis, tulislah.'. Kata klasik yang membuatku selalu semangat untuk terus menulis hal-hal yang selalu ingin aku tulis.

Terkadang, tidak perlu terlalu kata motivasi tinggi untuk membuat kamu melanjutkan hidup, bukan? cukup dengan kata sederhana namun sangat berarti, dan tak lupa dibumbui dengan status ... dari orang yang juga berarti.

Hidup itu seperti kertas putih, selalu ada kejadian yang mengisinya, memberi warnanya, mulai dari tinta hitam, tinta biru, tinta merah, bahkan sampai tinta putihpun mampu. Segala tinta dan pewarnaan, tergantung bagaimana kamu sebagai pemeran utama, sebagai point of view orang pertama saja. Cukup dengarkan dan nikmati apa yang kamu nikmati. Jangan selalu berpatok dengan apa yang orang lain bincangkan tentangmu. Kita semua punya tugas masing masing .... Tuhan sebagai penulis skenario, kamu sebagai pemeran utama, dan mereka sebagai pemeran figuran.

Jangan batasi dirimu hanya karena komentar negatif para pemeran figuranmu. Tuhan sebagai penulis skenario yang memberi pilihan dan kamu sebagai penentu jalanmu, bukan mereka. Kadang kala, memang sepatah dua kata dari mereka sangat berarti untuk kamu ataupun aku, tapi tetap ingat satu hal, tugas mereka hanyalah sebagai pemeran figuran, bukan pemeran utama dalam skenario kehidupanmu.

Tetap semangat, dan terus torehkan tinta berwarna untuk kertas putihmu, dan tetap kenang semua kenangan yang secara kebetulan tertorehkan dalam skenario kehidupanmu.

Salam Literasi.
Semoga bahagia dan selalu tersenyum :)